
Ekspresi kekecewaan Bukayo Saka pada laga PSG vs Arsenal di Liga Champions 2024/2025 (c) AP Photo/Aurelien Morissard
Bola.net – Arsenal harus mengakhiri mimpi mereka tampil di final Liga Champions 2024/2025 usai disingkirkan PSG dengan agregat 1-3 di babak semifinal.
Kekalahan ini terasa menyakitkan karena The Gunners gagal memanfaatkan keunggulan di awal laga dan justru tampil tidak efektif di momen-momen krusial. Di sisi lain, PSG menunjukkan kematangan taktik yang membuat mereka pantas melaju ke partai puncak.
Pertandingan leg kedua di Emirates Stadium menjadi panggung kegagalan Arsenal, baik dari segi eksekusi maupun pendekatan taktik. Mikel Arteta mencoba sesuatu yang tidak biasa: Menggunakan Thomas Partey sebagai senjata utama lewat lemparan jauh ke kotak penalti. Namun, strategi ini terbaca dan gagal menghasilkan ancaman berarti.
Momen akhir laga menjadi cerminan kepanikan Arsenal. Dalam upaya terakhir di menit ke-95, Partey melakukan lemparan ke dalam yang hanya bisa dijangkau oleh bek PSG, Vitinha. Bola langsung dibuang jauh dan wasit pun meniup peluit panjang, mengakhiri perjalanan Arsenal di Liga Champions musim ini.
Agar kamu tidak ketinggalan informasi terbaru seputar Liga Champions, kamu bisa join di Channel WA Bola.net dengan KLIK DI SINI.
Arteta dan Ilusi Taktik Baru
Pelatih Arsenal, Mikel Arteta. (c) AP Photo/Kin Cheung
Beberapa pekan setelah bergabung dengan Arsenal, Declan Rice sempat mengatakan bahwa bermain di bawah Arteta membuatnya “melihat sepak bola dengan cara yang benar-benar berbeda.”
Ia mengaku banyak belajar hal baru, bahkan menganggap bahwa pemahamannya soal sepak bola sebelumnya belum seberapa. Namun pertandingan melawan PSG memperlihatkan bahwa tidak semua pendekatan taktik Arteta selalu berhasil.
Salah satu eksperimen Arteta yang paling menonjol dalam laga ini adalah mengandalkan lemparan jauh Partey sebagai skema serangan utama. Mirip seperti era Rory Delap di Stoke City atau Pratama Arhan di Timnas Indonesia, Arsenal tampak berulang kali mencoba menciptakan peluang lewat situasi lemparan ke dalam. Sayangnya, itu tidak berjalan sesuai rencana.
Meski ide tersebut terlihat berani dan berbeda, kenyataannya PSG mampu membaca pola tersebut sejak awal. Mereka menyiapkan pertahanan untuk memotong lemparan-lemparan langsung ke kotak penalti dan menutup kemungkinan bola kedua jatuh ke kaki pemain Arsenal.
Awal Menjanjikan yang Tak Bertahan Lama
Arsenal sebenarnya sempat tampil menekan di awal laga. Mereka nyaris mencetak gol ketika Gabriel Martinelli melepaskan tembakan jarak dekat yang berhasil ditepis Donnarumma. Tak lama setelah itu, Martin Odegaard melepaskan tembakan keras dari luar kotak penalti, namun kembali digagalkan kiper asal Italia tersebut.
Kepercayaan diri Arsenal sempat meningkat. Ritme serangan terlihat terstruktur, dan PSG sempat kesulitan keluar dari tekanan. Namun masalahnya adalah: setiap skema ofensif Arsenal kembali berujung pada skenario lemparan ke dalam dari Partey.
Strategi itu menjadi terlalu repetitif. Ketika PSG mulai terbiasa dan bisa mengantisipasi arah bola, Arsenal kehabisan cara untuk menciptakan variasi serangan. Padahal, dengan kualitas teknik pemain seperti Odegaard dan Saka, The Gunners semestinya punya lebih banyak opsi.
PSG Mengambil Alih Momentum
Selebrasi Fabian Ruiz dalam laga semifinal Liga Champions antara PSG vs Arsenal, Kamis (8/5/2025). (c) AP Photo/Aurelien Morissard
PSG justru berhasil mencetak gol pertama melalui skema bola mati. Berawal dari pelanggaran Rice, tendangan bebas dari sisi kiri mengarah ke tiang jauh dan disambut dengan buruk oleh Partey, yang malah mengarahkan bola ke tengah kotak penalti. Kesalahan itu menjadi awal dari gol Fabian Ruiz.
Dalam situasi tersebut, Arsenal kembali gagal memenangi bola kedua. Ruiz yang berdiri bebas di tepi kotak penalti melakukan gerakan tipuan untuk mengecoh Martinelli, lalu melepaskan tembakan kaki kiri yang tak bisa dibendung. Gol ini datang di tengah dominasi Arsenal dan langsung memukul mental para pemain tim tamu.
Setelah gol itu, Arsenal seperti kehilangan arah. Skema mereka tak lagi berjalan efektif dan kepercayaan diri merosot drastis. Arteta tampak tidak punya rencana cadangan, karena terlalu mengandalkan strategi bola mati sejak awal pertandingan.
Hidup dan Mati oleh Bola Mati
Keputusan Arteta untuk mengandalkan Partey sebagai pelontar utama lewat lemparan ke dalam menjadi bumerang. Situasi ini justru memperlihatkan betapa Arsenal kekurangan fleksibilitas taktik di saat yang paling krusial. Ketika opsi andalan gagal, tidak ada variasi lain yang disiapkan.
Setiap lemparan Partey ke dalam kotak penalti bisa ditebak. PSG tahu betul bahwa bola akan diarahkan ke area padat dan mereka menyiapkan cukup pemain untuk menyapu bola pertama maupun kedua. Dalam momen paling menentukan, Arsenal kehabisan kreativitas.
Sinyal kekalahan sudah terlihat sejak awal. Dan ketika waktu benar-benar habis, upaya terakhir pun kembali jatuh pada Partey — lemparan yang gagal masuk kotak penalti dan langsung disapu bersih oleh Vitinha. Ironi dari laga ini adalah: taktik bola mati yang mereka pertaruhkan justru menjadi penyebab utama kegagalan.