
Pemain Inter Milan tampak meninggalkan lapangan setelah kalah 0-5 dari PSG di final Liga Champions 2024-2025. (c) AP Photo/Michael Probst
Bola.net – Musim 2024/2025 bukan hanya mengecewakan bagi Inter Milan, tapi juga jadi momen yang dimanfaatkan betul oleh sisi merah kota. Harapan untuk merengkuh kejayaan di Eropa pupus menyakitkan di Munich, dan pendukung AC Milan langsung menyambutnya dengan senyuman sinis.
Curva Sud, sektor fanatik Rossoneri, menyambut kepulangan tetangganya dengan spanduk pedas: “Nol trofi. Kemarin Istanbul, hari ini Munich, besok semua ke psikolog.” Tak ada ampun untuk rival yang tengah terluka.
Ejekan ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Curva Sud selalu tahu kapan waktu paling tepat untuk melempar ejekan. Kekalahan Inter di final Liga Champions adalah panggung sempurna bagi mereka untuk tampil.
Agar kamu tidak ketinggalan informasi terbaru seputar Liga Champions, kamu bisa join di Channel WA Bola.net dengan KLIK DI SINI.
Kegagalan yang Mengakar dari Istanbul
Kisah luka Inter di Eropa dimulai dua musim lalu, saat mereka akhirnya kembali ke final Liga Champions. Setelah 13 tahun menunggu, mimpi menyentuh trofi keempat pupus di Istanbul. Manchester City membungkam harapan itu lewat gol tunggal Rodri.
Meski musim itu ditutup dengan Coppa Italia dan Supercoppa Italiana, luka di final Liga Champions terasa lebih dalam. Tifosi Inter hanya bisa meratap, sementara City menorehkan sejarah treble pertama mereka.
Ironi pun tak terelakkan. Inter datang membawa ambisi, tapi justru jadi saksi momen emas tim lawan. Kisah ini, rupanya, hanya awal dari bab yang lebih getir.
Munich: Kekalahan yang Menjadi Aib
Musim ini, Inter kembali merasakan final Liga Champions. Perjalanan yang awalnya impresif, berakhir dengan tragedi di Allianz Arena. Kali ini, PSG datang bukan hanya untuk menang—mereka menghancurkan.
Skor 5-0 jadi mimpi buruk yang sulit dilupakan. Inter tak hanya gagal juara, tapi mencatat kekalahan terbesar dalam sejarah final kompetisi Eropa. Gol-gol dari Hakimi, Doue, Kvaratskhelia, dan Mayulu jadi penanda kehancuran.
Lebih menyakitkan lagi, Inter kembali jadi saksi sejarah. PSG mengulangi kisah Manchester City: meraih treble, dan Inter lagi-lagi ada di panggung sebagai korban utama.
Milan: Tak ke Eropa, tapi Satu Trofi dan Dominasi Derby
Di sisi lain kota Milan, Rossoneri memang gagal lolos ke kompetisi Eropa musim depan. Namun, musim mereka tak sepenuhnya kelam. Satu trofi berhasil dibawa pulang—Supercoppa Italiana, dan itu diraih lewat kemenangan atas Inter.
Laga final Supercoppa jadi salah satu puncak emosi Rossoneri musim ini. Mereka menang 3-2 dan memperlihatkan bahwa di pertandingan besar, mereka lebih siap dan lebih tajam dibanding sang rival sekota.
Tak hanya itu, Milan menguasai seluruh Derby della Madonnina musim ini. Tiga kemenangan dan dua hasil imbang di lima pertemuan menegaskan satu hal: Milan boleh gagal di klasemen, tapi mereka menang dalam gengsi.
Musim Nol Gelar dan Ejekan Abadi
Awal musim diwarnai harapan besar dari kubu Nerazzurri. Skuad mentereng dan performa stabil membuat tifosi yakin ini tahun mereka. Treble bahkan sempat terlihat. Namun, seiring waktu, segalanya runtuh satu demi satu.
Scudetto lepas ke Napoli, Coppa Italia dihentikan oleh Milan, dan final Liga Champions menjadi titik nadir. Dari mimpi besar menjadi realita pahit: musim berakhir tanpa satu pun piala.
Sementara tifosi Inter merenung dalam diam, Curva Sud bersorak dalam senyum. Karena dalam rivalitas sekota, kemenangan tak melulu soal trofi—tapi tentang momen saat tawa bisa menyayat lebih tajam dari kekalahan itu sendiri.